Header Ads Widget

Ticker

6/recent/ticker-posts

Bolehkah Sterilisasi Permanen bagi Perempuan?


 Masalah kontrasepsi dan pengaturan kelahiran merupakan isu yang penting dalam kehidupan berkeluarga, termasuk dalam konteks agama Islam. Salah satu metode yang sering dibahas adalah tubektomi, sebuah prosedur medis yang bersifat permanen untuk mencegah kehamilan dengan cara memutuskan atau menyumbat saluran tuba falopi pada wanita.   

Meskipun tindakan ini dapat memberikan solusi efektif bagi mereka yang tidak ingin memiliki anak lagi, pertanyaan mengenai hukumnya dalam Islam tetap menjadi perdebatan. Karena itu, penting memahami perspektif hukum Islam terkait tubektomi, terutama dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip dasar yang ada dalam syariat, seperti tujuan pernikahan dan perlindungan terhadap fungsi reproduksi.   Apa Itu Tubektomi? Tubektomi adalah sebuah tindakan medis berupa operasi sterilisasi permanen pada perempuan. Caranya, dokter akan memotong, mengikat, atau menyegel saluran tuba falopi, yaitu jalur yang biasanya dilalui sel telur dari indung telur menuju rahim. 

Dengan penutupan jalur ini, sperma tidak akan bisa bertemu dengan sel telur, sehingga kehamilan tidak bisa terjadi.   Tubektomi biasanya dilakukan oleh perempuan yang benar-benar yakin tidak ingin hamil lagi. Prosedurnya tergolong aman dan efektif, bahkan mendekati 100%. Namun karena sifatnya permanen, keputusan untuk melakukan tubektomi tidak bisa dianggap enteng. Harus ada pertimbangan yang matang dan diskusi terbuka dengan tenaga medis.

Hukum Tubektomi dalam Islam Nahdlatul Ulama secara khusus membahas permasalahan tubektomi dalam Muktamar NU ke-28 yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta, pada 25–28 November 1989 M.   

Dalam forum tersebut diputuskan bahwa penjarangan kelahiran melalui cara apa pun tidak diperkenankan jika sampai pada batas mematikan fungsi berketurunan secara mutlak.   Karena itu, sterilisasi yang diperbolehkan hanyalah yang bersifat sementara, yakni kemampuan berketurunan dapat dipulihkan kembali dan tidak merusak atau menghilangkan bagian tubuh yang memiliki fungsi reproduksi.(Lajnah Ta’lif wan Nasyr PBNU, Ahkamul Fuqaha, halaman 447).   

Keputusan ini menegaskan perbedaan antara upaya pencegahan kehamilan yang bersifat permanen dan yang bersifat sementara, dengan penekanan pada perlindungan terhadap fungsi dasar reproduksi. Pencegahan secara permanen hukumnya haram, sementara yang bersifat sementara masih diperbolehkan.   Referensi pokok dalam putusan tersebut diambil dari beberapa kitab mu’tabar, antara lain kitab Hasyiah Al-Bajuri sebagai berikut:


Posting Komentar

0 Komentar