.jpg)
Soal distribusi daging dam memang menarik untuk diperbincangkan.
Dalam benak kami, pada musim haji daging dam di tanah haram begitu melimpah dan
kebutuhan penduduk miskin di tanah haram sudah terpenuhi semuanya. Sehingga
sisanya masih sangat banyak. Dari sini kemudian lahir pertanyaan apakah boleh
mendistribusikan daging dam ke luar tanah haram? Pada dasarnya ketentuan
pelaksanaan dam disembelih di tanah haram sebagaimana pandangan para ulama yang
telah kami kemukakan pada edisi sebelumnya. Pun demikian daging dam wajib
didistribusikan untuk orang-orang miskin di tanah haram.
وَيَجِبُ
صَرْفُ لَحْمِهِ" وَجِلْدِهِ وَبَقِيَّةِ أَجْزَائِهِ مِنْ شَعْرِهِ
وَغَيْرِهِ ، فَاقْتِصَارُهُ عَلَى اللَّحْمِ ؛ لِأَنَّهُ الْأَصْلُ فِيمَا
يُقْصَدُ مِنْهُ فَهُوَ مِثَالٌ لَا قَيْدٌ إلَى مَسَاكِينِهِ أَيْ
الْحَرَمِ وَفُقَرَائِهِ الْقَاطِنِينَ مِنْهُمْ وَالْغُرَبَاءِ
Artinya, “Wajib mendistribusikan daging hadyu atau dam, kulit dan
semua organ tubuh lainnya seperti rambut dan selainnya kepada orang-orang
miskin tanah haram, fuqara`-nya yang menetap di situ dan orang-orang asing.
Penyebutan dalam kitab Al-Minhaj hanya terbatas pada dagingnya
karena pada dasarnya daging merupakan sesuatu dimaksud darinya. Makan dapat
dipahami bahwa hal tersebut merupakan perumpaan yang tidak dibatasi,” (Lihat
Syamsuddin Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj, Beirut, Darul Fikr,
1404 H/1984 M, juz III, halaman 359). Dari sini kemudian dapat kita pahami
bahwa daging dam tidak boleh didistribusikan ke luar tanah haram. Lantas,
bagaimana jika tidak ada orang miskin di tanah haram? Menurut Qadli Husain,
seandainya di tanah haram tidak dijumpai orang miskin tetap tidak diperbolehkan
mendistribusikan dam di luar tanah haram.
Sebab, menurutnya, dam itu wajib didistribusikan kepada
orang-orang miskin tanah haram. Hal ini seperti hukum orang yang bernadzar
mengeluarkan sedekah kepada orang-orang miskin di sebuah daerah tertentu tetapi
ia tidak menjumpainya. Maka ia harus menunggu sampai mendapati mereka dan tidak
boleh memindahkan sedekahnya ke daerah lain.
قَالَ
الْقَاضِي حُسَيْنٌ فِي الْفَتَاوِي لَوْ لَمْ يَجِدْ فِي الْحَرَمِ مِسْكِينًا
لَمْ يَجُزْ نَقْلُ الدَّمِ إِلَى مَوْضِعٍ آخَرَ سَوَاءٌ جَوَّزْنَا نَقْلَ
الزَّكَاةِ أَمْ لَا لِاَنَّهُ وَجَبَ لِمَساكِينِ الْحَرَمِ كَمَنْ نَذَرَ
الصَّدَقَةَ عَلَى مَسَاكِينِ بَلَدٍ فَلَمْ يَجِدْ فِيهِ مَسَاكِينَ يَصْبِرُ
حَتَّى يَجِدُهُمْ وَلَا يَجُوزُ نَقْلُهُ بِخِلَافِ الزَّكَاِة عَلَى أَحَدِ
الْقَوْلَيْنِ لِاَنَّهُ لَيْسَ فِيهَا نَصٌّ صَرِيحٌ بِتَخْصِيصِ الْبَلَدِ بِهَا
بِخِلَافِ الْهَدْىِ
Artinya, “Qadli Husain menyatakan dalam Al-Fatawi-nya, seadainya
seseorang tidak menemukan orang miskin di tanah haram tetap tidak boleh
memindahkan dam ke daerah lain, baik kami membolehkan pemindahan zakat ke
daearah lain atau tidak. Karena hadyu atau dam wajib didistribusikan kepada
orang-orang miskin tanah haram.
Hal ini seperti orang yang bernadzar memberikan sedekah kepada
orang-orang miskin di daerah tertentu tetapi ia tidak mendapati satupun di
situ, maka ia mesti bersabar sampai mendapatinya, dan ia tidak boleh
memindahkan sedekahnya ke daerah lain. Berbeda dengan kasus zakat di mana dalam
pemindahan ke daerah lain terjadi perbedaan para ulama karena memang tidak ada
nash yang secar jelas mengkhususkannya. Hal ini tentunya kontras dengan hadyu,”
(Lihat Muhyiddin An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Jeddah, Maktabah
Al-Irsyad, juz VII, halaman 483).
Namun ada pandangan lain dari kalangan madzhab Hanafi yang
menyatakan bahwa diperbolehkan mendistribusikan daging dam ke luar tanah haram.
Meskipun demikian mendistribuskan kepada orang-orang miskin tanah haram tetap
lebih utama, kecuali orang-orang miskin luar tanah lebih membutuhkan.
Salah satu argumen yang diajukan untuk mendukung pandangan ini
adalah bahwa bersedekah adalah cara mendekatkan diri kepada Allah (ibadah) yang
dapat dirasionalkan (qurbatun ma’qulatun). Sedangkan bersedekah kepada setiap
orang fakir-miskin adalah bentuk dari pendekatan diri kepada-Nya.
وَيَجُوزُ
أَنْ يَتَصَدَّقَ بِهَا عَلَى مَسَاكِينِ الْحَرَمِ وَغَيْرِهِمْ) لِأَنَّ
الصَّدَقَةَ قُرْبَةٌ مَعْقُولَةٌ، وَالصَّدَقَةُ عَلَى كُلِّ فَقِيرٍ قُرْبَةٌ،
وَعَلَى مَسَاكِينِ الْحَرَمِ أَفْضَلُ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ غَيْرُهُمْ أَحْوَجَ.
Artinya, “Boleh menyedekahkan daging hadyu atau dam kepada
orang-orang miskin tanah haram dan luar tanah haram tetapi lebih utama kepada
para fakir-miskin tanah haram kecuali orang fakir di luar mereka lebih
membutuhkan. Sebab, bersedekah adalah ibadah yang dapat dinalar (qurbahatun
ma’qulatun).
Sedangkan bersedekah kepada setiap orang fakir-miskin adalah
merupakan ibadah,” (Lihat Abdul Ghani Al-Ghanimi Ad-Dimasyqi Al-Maidani,
Al-Lubab fi Syarhil Kitab, Beirut, Darul Kitab Al-‘Arabi, juz I, halaman 109).
Berangkat dari penjelasan di atas, setidaknya kita dapat menarik
kesimpulan bahwa ada dua pendapat mengenai soal distribusi daging hadyu atau
dam ke luar tanah haram. Pertama menyatakan tidak boleh. Kedua menyatakan boleh
meskipun mendistribusikan kepada orang-orang miskin tanah haram lebih utama.
Namun hal ini berlaku sepanjang orang fakir di luar tanah haram
tidak begitu membutuhkannya. Hemat kami, pandangan kedua bisa dijadikan
pegangan jika memang situasi dan kondisinya menghendaki demikian.
0 Komentar